Pendidikan pada dasarnya adalah upaya yang dilakukan secara sadar
untuk mendewasakan peserta didik, yang ditandai oleh adanya kemandirian dari
diri peserta didik. Kemandirian yang dimaksudkan disini adalah kemampuan
mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri tanpa harus selalu tergantung pada
orang lain. Kemandirian peserta didik dapat dilihat dari beberapa indikator:
1. Adanya sifat kestabilan
dan kemantapan
Kestabilan ini mencakup kestabilan dalam tingkah laku, pandangan
hidup dan kestabilan dalam nilai-nilai yang dianut. Kestabilan dalam perilaku
berarti seseorang yang segala perbuatannya, tingkah lakunya senantgiasa
berdasarkan atas suatu rencana yang telah dipikirkan dan dipertimbangkan secara
matang. Artinya peserta didik yang memiliki kestabilan adalah mereka yang
selalu berupaya memikirkan secara matang untung dan rugi, apa kaitannya dengan
nilai-nilai yang di masyarakat sebelum dia berperilaku atau mengambil suatu
keputusan yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya di masyarakat.
Kestabilan disini bukanlah dalam pengertian kaku (tidak dapat
diubah-ubah) tetapi kestabilan yang dinamis dalam arti perilaku daapat berubah
meskipun sudah direncanakan, tetapi perubahan ini didasarkan pertiumbangan-pertimbangan
yang sangat rasional. Dengan kata lain terjadinya perubahan terhadap suatu
keputusan yang telah diambil seseorang atas dasar pemikiran yang matang juga
berarti suatu kematapan dalam keputusan.
Kestabilan dalam pandangan hidup berarti bahwa dengan kesadaran
dan keyakinan seseorang telah menganut suatu pandangan hidup/keagamaan tertentu
secara utuh dengan tidak mudah tergoyahkan oleh factor apapun.
Kestabilan dalam nilai-nilai yaitu segala perbuatan/perilaku dan
sikapnya selalu didasarkan kepada nilai-nilai kehidupan/kemasyarakatan serta
nilai-nilai dalam berbangsa dan bernegara.
2. Adanya sikap tanggung
jawab
Sikap tanggung jawab mencakup tiga hal pokok yaitu tanggung jaawab
individu, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab susila.
Tangung jawab individu berarti seorang yang berani berbuat, berani
bertanggung jawab tentang segala resiko dari perbuatannya. Menolak tanggung
jawab deang alas an yang benar dan dianggap benar oleh semua orang juga berarti
bertanggung jawab.
Tanggung jawab sosial berarti bahwa semua perbuatan yang dilakukan
seseorang harus sudah dipikirkan akibat-akibatnya atau untung ruginya bagi
orang lain, masyarakat dan lingkungannya.
Tanggung jawab susila berarti bahwa perbuatan seseorang harus
sesuai dengan norma-norma susula, moral dan etika.. Oleh sebab itu segala
perilakukan harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan etika. Karena
itu pendidikan pada dasarnya juga harus membentuk nilai moral dan ettika kepada
peserta didik untuk dapat mempersiapkan ekemandirian dan kemampuan bertanggung
jawab secara moral.
3. Adanya sifat mandiri
Mandiri berarti bahwa segala perbuatan yang dilakukan seseorang
adalah atas dasar pilihannya sendiri, ditentukan dan diputuskan atas kemauan
sendiri dengan pertimbangan yang matang. Apa yang dipilih, ditentukan dan
diperbuat memang diputuskan atas dorongan dari dalam diri sendiri bukan karena
desakan atau paksaan orang lain. Keputusan yang diambil berdasarkan
masukan/saran-saran dari sejumlah orang juga berarti keputusannya sendiri,
sejauh saran dan masukan dari olrang lain tersebut hanya manjadi bahan untuk
memikirkan dan mempertimbangkan keputusan yang terbaik menurut dirinya sendiri,
tanpa menggantungkan harapan kepada orang lain.
Mandiri secara ekonomi berarti bahwa seseorang yang mengaku
dirinya dewasa maka ia sudah memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya
sendiri, membeiayai kehidupannya atas dasar usahanya sendiri, bukan karena
meminta atau disokong (support) oleh orang lain. Usaha sendiri bukan berartri
tidak boleh bekerja pada orang lain.
Dengan demikian berarti pendidikan dapat pula diandang sebagai
suatu lembaga yang melakukan kegiatan dalam rangka mendewasakan manusia
melakukan berbagai aktivitas mendidik dalam wujud pemberian
pengalaman-pengalaman belajar, berlatih dan melakukan berbagai kegiatan kepada
semua peserta didik (manusia yang belum dewasa). Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh melalui kegiatan-kegiatan pendidikan adalah merupakan gejala yang
bersifat universal dari suatu masyarakat. Isi dan corak dari pengalaman-pengalaman
pendidikan tersebut sangat bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang memiliki latar belakang budaya, nilai, keyakinan, filosofi yang berbeda. Sifat-sifat universal dari
pengalaman-pengalaman pendidikan dapat memberikan kontribusi pengembangan
masyarakat dan kebutuhan bagi semua masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai
warisan budayanya, dan menanamkan terhadap generasi muda nilai-nilai luhur
budaya, cita-cita, kebiasaan-kebiasaan, dan standar perilaku dari budaya masyarakatnya.
Pendidikan sebagai suatu wahana untuk mendewasakan manusia lainnya
dilakukan dalam suatu proses. Proses dimana anak belajar mengenal cara hidup
dan berperilaku, kebiasaan-kebiasaan serta nilai-nilai budaya masyarakat yang
disebut sebagai proses enkulturasi. Pada waktu yang sama semua anggota
masyarakat harus belajar bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakatnya. Suatu proses dimana
generasi muda belajar terhadap nilai-nilai atau kebiasaan-kebiasaan baru
tersebut disebut alkulturasi. Dua proses enkulturasi dan alkulturasi tersebut
berjalan seiring, berkesinambungan dan saling pengaruh mempengaruhi, sampai
pada akhirnya masyarakat merasa memiliki kemantapan nilai-nilai tertentu yang
diyakininya sebagai nilai yang dapat membawa kebaikan bagi kehidupannya. Semua
orang di dalam masyarakat harus mengadaptasi pola-pola perilaku dan sistem
nilai serta cara berfikir yang sudah mantap. Akan tetapi dalam kenyataannya
sistem nilai, pola perilaku dan cara-cara berfikir tersebut juga mengalami
perubahan, seiring dengan perubahan budaya baik sebagai akibat masuknya budaya
lain maupun sebagai akibat kemajuan budaya masyarakat setempat akibat proses
pendidikan itu sendiri. Kegagalan seseoran individu yang berada dalam suatu
lingkungan untuk mengadaptasi nilai-nilai baru yang tumbuh dan berkembang di
lingkungannya dapat mengakibatkan resiko konflik dan mungkin stagnasi, bahkan
seseorang dapat terisolasi dari lingkungan masyarakat dimana dia berada apabila
dia gagal dalam mengadaptasi diri. Oleh karena itu pendidikan berfungsi pula
untuk mempersiapkan peserta didik kemampuan penyesuaian diri dengan
lingkungannya. Sehingga sekolah secara kelembagaan tidak dapat dipisahkan
dengan lingkungannya dalam pembentukan anak secara utuh.
Ini berarti kegagalan dalam beradaptasi merupakan ancaman bagi
eksistensi seorang individu dalam lingkungan dimana dia berada, agar mereka
tidak mengalami kegagalan tersebutlah sekolah berperan membantu memfasilitas
anak. Tingkat dan intensitas terjadinya modifikasi-modifikasi tersebut sangat
bervariasi antar sistem budaya masyarakat yang satu dengan sistem budaya
masyarakat yang lain. Akan tetapi secara umum, tanpa memandang tingkat kemajuan
masyarakat, apakah masyarakat tersebut berpendidikan atau tidak, masyarakat
pra-industri atau masyarakat industri, masyarakat tradisional ataupun
masyarakat yang telah maju, proses-proses pembudayaan melalui proses
sosialisasi dan edukasi dari generasi muda, selalu terjadi dan pasti menghadapi
masalah-masalah. Berbagai permasalahan dalam proses adaptasi tersebut menjadi
kewajiban orang tua, sekolah dan masyarakat untuk memfasilitasinya.
Pembicaraan tentang kebudayaan dan sekolah sering membatasi
penggunaan istilah edukasi dan sosialisasi. Edukasi sering dihubungkan dengan
belajar dalam sekolah formal, sedang sosialisasi dianggap suatu konsep yang
memiliki makna yang lebih luas, yaitu meliputi segala hal yang berhubungan
dengan upaya belajar untuk menyesuaikan dan mengadopsi nilai-nilai baru.
Meskipun sebenarnya edukasi dan sosialisasi keduanya bermuara pada tujuan akhir
pendewasaan seseorang. Adakalanya seseorang dapat beradaptasi terhadap nilai
baru sebagai akibat dari keikutsertaannya dalam pencarian informasi melalui
sosialisasi. Dengan demikian sosialisasi pada dasarnya merupakan salah satu
cara dalam proses edukasi.
Tumbuh dan berkembangnua budaya masyarakat dapat terbentuk melalui
kedua proses tersebut, yaitu proses sosialisasi dan edukasi, walau
proses-proses tersebut tidak dapat diabstraksikan dari cakupan budaya dan
struktur sosial, agaknya aspek-aspek tersebut dapat dimengerti sebagai bagian
dari aspek kebudayaan.
Proses pendidikan secara formal dilakukan melalui system
persekolahan, pada umumnya dipandang sebagai proses terbuka. Proses pendidikan
secara formal ini bersifat terbuka sehingga dapat diketahui dan terlihat oleh
siapapun, dan diorganisasi secara baik, mulai dari penagturan peserta didik
sempai pada pengaturan kapan seseorang harus belajar dan apa yang harus
dipelajari pada waktu tertentu sampai pada pengaturan system penilaian sebagai
bukti terjadinya perubahan pada diri individu sebagai akibat proses pendidikan.
Akan tetapi baik edukasi maupun sosialisasi juga dapat terjadi secara informal
dan bersifat tertutup, dan bahkan sebagian tidak disadari oleh individu yang
bersangkutan.
Dalam beberapa masyarakat, misalnya pada kelompok-kelompok
masyarakat tribal, terutama di negara-negara sedang berkembang dari Dunia
Ketiga, proses edukasi dan sosialisasi dari generasi muda berlangsung tidak
selalu melalui prosedur dan jalur belajar formal yang ekstensif. Namun demikian
proses “ schooling” atau persekolahan sebenarnya selalu terjadi dimana-mana,
dan masyarakat sukar menghindari diri dari proses belajar mengajar formal
tersebut, baik di dalam masyarakat di desa-desa, masyarakat yang hidup di
padang pasir, masyarakat di lereng-lereng gunung, semuanya sekarang pasti telah
dijamah oleh proses “schooling” tersebut. Sifat universal dari sekolah-sekolah
dan proses schooling tersebut dapat digolongkan menjadi enam golongan besar :
1. Sekolah-sekolah yang memberikan dasar-dasar
pengetahuan untuk menyadari dirinya sebagai warga masyarakat dan warga negara.
Sekolah-sekolah ini meliputi pendidikan tingkat kanak-kanak, sekolah dasar, dan
sekolah lanjutan.
2. Sekolah-sekolah yang memberikan pengetahuan
tingkat lanjut di perguruan tinggi, yang memberikan pendidikan dan latihan
spesialist.
3. Sekolah-sekolah yang berorientasi pada
pendidikan keagamaan.
4. Sekolah-sekolah yang menyiapkan generasi
muda menjadi militer.
5. Sekolah-sekolah kejuruan yang berorientasi
pada kerja, dan
6. Sekolah-sekolah dalam bentuknya yang lain
misalnya sekolah yang dipersiapkan untuk menyebarluaskan pengetahuan tertentu,
misalnya sekolah untuk kepentingan indoktrinasi, sekolah untuk menyiapkan guru-guru agama, dan
sekolah-sekolah untuk mempersiapkan tenaga-tenaga profesional lainnya (Chesler
and Cave, 1981:2)
Proses dari persekolahan bukan merupakan sesuatu yang terjadi
secara kebetulan. Sekolah-sekolah seperti itu sejak lama telah dipersiapkan oleh
masyarakat, dan dimaksudkan untuk melestarikan warisan budaya masyarakat, serta
berfungsi untuk melangsungkan proses memajukan masyarakat. Lebih jelasnya
tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui proses pendidikan dimanapun proses
pendidikan itu berlangsung (melalui persekolahan atau diluar persekolahan)
adalah untuk menghasilkan orang-orang agar mereka mengenal dan menyadari
dirinya serta bertanggungjawab untuk menyempurnakan/mengembangkan masyarakatnya
atau dengan kata lain mendewasakan manusia yang ditandai oleh indikator:
bertanggung jawab, mandiri, tidak tergantung atau selalu mengagntungkan diri
kepada orang lain, berani mengambil keputusan terbaik untuk dirinya dan
masyarakatnya serta menanggung resiko dari keputusan yang diambilnya.
Munculnya sekolah-sekolah formal sebagai konsekuensi dari
perkembangan masyarakat, dan kompleksnya tatanan sosial yang ada, serta untuk
merespon kebutuhan bagi upaya melestarikan warisan budaya, kontrol sosial dan
untuk memajukan masyarakat yang bersangkutan. Kemunculan sekolah ini pada
awalnya didasarkan pada kenyataan bahwa pendidikan yang dilaksanakan di
lingkungan keluarga oleh orang dewasa di sekitar keluarga, tidak mampu lagi
berperan mempersiapkan anggota keluarganya secara intensif dalam memberikan
pengalaman belajar untuk menghadapi berbagai kemajuan dan kompleksitas
kehidupan dan tatanan sosial budaya yang berkembang secara cepat.
Bagi orang-orang/masyarakat yang menempatkan permikiran pada
orientasi edukasi, untuk memajukan masyarakat, tidak menginginkan perubahan-perubahan
masyarakat secara radikal, apalagi dengan jalan berontak atau kekerasan untuk
melakukan perubahan-perubahan terhadap institusi dan struktur sosial yang ada.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kelembagaan pendidikan itu
hakekatnya adalah merupakan lembaga konservatif, yang berfungsi untuk
mempertahankan dan mewariskan budaya sambil berusaha mengembangkan budaya bagi
kesejahteraan masyarakatanya. Titik tolak atau sentral segala upaya dalam
pengembangan budaya yang dilakukan melalui proses persekolahan ataiu proses
pendidikan di sekolah pada dasarnya adalah memajukan kehidupan masyarakat,
meningkatkan kualitas kehidupan warga masyarakat atau meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang utuh, yaitu sejahtera dalam arti
lahir dan sejahtera dalam arti bathin. Dengan demikian orientasinya bukan
semata pada aspek materialistis tetapi juga aspek psikologis dan spritualistis.
Oleh sebab itulah maka sekolah dimanapun, dalam kondisi apapun sebagai lembaga
pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakatnya. Mestinya dia tumbuh dan
berkembang dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Pada sisi lain sekolah dihadapkan pada kenyataan perkembangan
budaya masyarakat yang sangat cepat, perubahan-perubahan yang tejadi terhadap
berbagai aspek-aspek budaya dan masyarakat yang begitu cepat menjadikan sekolah mempunyai misi sebagai alat untuk
melakukan perubahan-perubahan (agen of change), sesuai dengan tuntutan
perkembangan masyarakat. Sekolah berfungsi sebagai alat untuk mengintrodusir
nilai-nilai baru yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup
dan kehidupan masyarakat tanpa meninggalkan nilai lama yang perlu dipertahankan
agar dapat diadopsi oleh masyarakat, demi mengadaptasi perkembangan teknologi dan
pengetahuan, yang pada akhirnya sebenarnya bertujuan agar kehidupan masyarakat
lebih berkualitas.
Jadi adalah tidak mungkin kita berfikir dan memfungsikan sekolah
hanya sebagai alat untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan dan tata nilai yang
berlaku di dalam masyarakat serta sebagai alat untuk mentransmisikan
warisan-warisan budaya masyarakat semata-mata, karena masyarakat akan tertingal
dari budaya yang terus menerus berkembang, lebih-lebih pada masa sekarang
perkembangan budaya masyarakat jauh lebih cepat dari apa yang dapat dilakukan
oleh sekolah. Bersamaan dengan proses pelestarian tersebut, sekolah harus
dipandang sebagai agen pembaharuan serta kekuatan yang mampu memciptakan
kondisi-kondisi untuk melakukan perubahan-perubahan kearah peningkatan kualitas
hidup masyarakat. Dengan demikian dalam pembicaraan mengenai sekolah ini kita
dihadapkan dua kepentingan atau tujuan pokok, yaitu:Melakukan kegiatan-kegiatan
pendidikan untuk mempersiapkan anak didik agar dapat mengantisipasi masa depan
tanpa harus meninggalkan budaya dan nilai yang sudah menjadi karakteristik
masyarakat. Jadi sekolah disatu pihak dapat dipandang sebagai lembaga
konservasi nilai-nilai masa lampau dan kedua sebagai agent untuk melakukan
perubahan.
Kepentingan tersebut di atas tidak perlu dianggap sebagai asumsi
yang harus dipertentangkan, akan tetapi harus ditempatkan di dalam suatu
kontinum, yang akan memberi kesempatan kepada pengambil kebijakan, untuk
mengambil pilihan-pilihan yang diinginkan, atas pertimbangan-pertimbangan
situasi, tempat dan kepentingan tertentu.
Dari uraian-uraian tersebut di atas, nampak bahwa pembicaraan
tentang persekolahan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang
masyarakatnya, sebab sekolah diciptakan sebagai lembaga yang berperan dalam
mengembangkan masyarakat kearah kemajuan, berkualitas dan sejahtera. Oleh sebab
itu sangat tepat kalau tokoh pendidikan Inodonesia Ki Hajar Dewantara
menyatakan bahwa pendidikan itu berpusat pada tiga lembaga yaitu : keluarga,
sekolah dan masyarakat. Ketiga lembaga tersebut merupakan satu kesatuan yang
utuh dalam proses pembentukan masyarakat yang berkualitas
Pada umumnya para ahli sosiologi menyatakan bahwa proses
sosialisasi pertama dan utama serta mekanisme kunci dari proses sosialisasi di
dalam semua kebudayaan masyarakat manusia adalah sosialisasi di lignkungan
keluarga. Dari keluarga, hal-hal yang berhubungan dengan transformasi anak
untuk menjadi anggota masyarakat dilakukan melalui hubungan perkawinan. Di
dalam keluarga terjadi sistem interaksi yang intim dan berlangsung lama.
Keluarga merupakan kelompok primer yang ditandai oleh loyalitas pribadi, cinta
kasih, dan hubungan intim penuh kasih saying diantara anggota kelompok
keluarganya masing-masing. Dalam keluarga, anak memenuhi sifat-sifat
kemanusiaannya dan berkembang dari insting-insting biogenetik yang primitif
untuk belajar terhadap respons-respons sosial. Di dalam keluarga anak belajar
melakukan interaksi sosial yang pertama serta mulai mengenal tentang perilaku-perilaku
yang diperankan oleh orang lain di lingkungannya. Dengan perkataan lain,
pengenalan tentang nilai-nilai budaya masyarakat dimulai dari lingkungan
keluarga. Di sini anak juga belajar tentang keunikan pribadi seseorang, dan
sifat-sifat kelompok sosial di sekitarnya.
Hampir di semua masyarakat, keluarga dikenal sebagai unit sosial
dimana anak mulai memperoleh pengalaman-pengalaman hidupnya. Karena itu
lingkungan keluarga merupakan awadah bagi anak-anak anggota keluarga untuk
mengenal hubungan-hubungan prokreasi dan kreasi secara syah dan dibenarkan
serta diyakini. Di dalam suatu masyarakat, keluarga inti men-jalankan fungsi
yang sebenarnya dari masyarakat, sementara pada masyarakat lain, pola-pola
kekerabatan memegang fungsi utama dalam membudayakan generasi muda.
Dalam kasus lain, keluarga sering menjalankan fungsi sebagai
perantara antara budaya lokal dan unit sosial, dimana nilai-nilai budaya mulai
ditanamkan dari generasi tua kepada generasi muda.
Keluarga juga menjalankan fungsi-fungsi pendidikan politik, dimana
ke-luarga membantu mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dan
kemampuan-kemampuan untuk hidup berkelompok dalam struktur kelompok yang mulai
mengenal pembagian kekuasaan secara sederhana. Di dalam keluarga anak mengenal
proses pengambilan keputusan, kepatuhan terhadap penguasa dan ketaatan untuk
menjalankan aturan-aturan yang berlaku. Karena di dalam keluarga sebagai unit
sosial terkecil, terjadi fungsi-fungsi pengambilan keputusan, maka keluarga
merupakan sistem politik pada tingkat mikro. Di dalam keluarga, anak pertama
kali belajar mengenai pola-pola kekuasaan, bagaimana kekuasaan terbagi, serta
jaringan-jaringan hubungan kekuasaan berlangsung. Di sini anak mulai mengenal mengapa ayah/ibu memiliki power yang
lebih tinggi dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lebih tua, serta
bagaimana pembagian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, antara yang muda
dengan yang lebih tua, antara ayah dan ibu, dan antara anak-anak dengan orang
tua. Sifat-sifat kepatuhan anak di dalam keluarga akan dibawa dalam kepatuhan
di sekolah dan di masyarakat. Demikia juga sifat-sifat suka memberontak,
kebiasaan melawan dan tidak disiplin di dalam keluarga, juga akan
mempengaruhinya dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat.
Di samping keluarga memiliki fungsi politik, keluarga juga
memiliki fungsi ekonomi, yaitu fungsi-fungsi yang berhubungan dengan
proses-proses mem-produksi dan mengkonsumsi tentang barang-barang dan jasa. Di
dalam siklus hubungan intim di dalam keluarga, anak-anak belajar mengenai sikap-sikap
dan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk memainkan peranan dalam
kegiatan produksi dan konsumsi, barang dan jasa. Setiap keluarga mengadopsi
pembagian tugas yang merupakan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh keluarga.
Di dalam keluarga juga ditemukan tentang nilai-nilai kerja, peng-hargaan
tentang kerja dan hubungan antara kerja dan imbalan-imbalan yang dianggap
layak.
Peranan keluarga bukan saja berupa peranan-peranan yang bersifat
intern antara orang tua dan anak, serta anak yang satu dengan anak yang lain. Keluarga juga merupakan
medium untuk menghubungkan kehidupan anak dengan kehidupan di masyarakat,
dengan kelompok-kelompok sepermainan, lembaga-lembaga sosial seperti lembaga
agama, sekolah dan masyarakat yang lebih luas. Setelah anak memiliki pergaulan
dan pengalaman-pengalaman yang luas di dalam kehidupan masyarakatnya, sering
pengaruh orang-orang dewasa di sekitarnya lebih mempengaruhi dan membentuk
perilakunya dibandingkan dengan pengaruh dari keluarga. Dalam situasi semacam
itu tidak jarang akan terjadi konflik di dalam diri anak. Pola perilaku manakah
yang kemudian diadopsi untuk dijadikan pola anutan.
Mengingat pentingnya peranan keluarga dalam pembentukan sikap
budaya anak, maka sekolah perlu menjalin kerjasama yang erat dengan keluarga,
sehingga dapat secara bersama-sama dalam satu persepsi, sikap dan tindakan
untuk berupaya menyiapkan anak didik untuk siap menghadapi tantangan masa depan
melalui proses persekolah.
Pendidikan memiliki fungsi-fungsi secara rinci dapat dilihat pada
uraian berikut ini.
1. Memindahkan Nilai-nilai Budaya
Dalam hubungannya dengan nilai-nilai budaya, pendidikan dapat
dirumuskan sebagai proses kegiatan yang direncanakan untuk memindahkan
pengetahuan, sikap dan nilai-nilai serta kemampuan-kemampuan mental lainnya
dari satu generasi yang lebih muda. Kebudayaan pada dasarnya mencakup pandangan-pandangan,
sistem keyakinan, cita-cita serta harapan-harapan yang tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat, nilai-nilai, system perilaku, system symbol dan lain
sebagainya. Dalam proses interaksi antara guru dan siswa, siswa akan memperoleh
nilai-nilai budaya tersebut, di mana kemudian sebagian besar akan tercermin
dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.
2. Nilai-nilai Pengajaran
Fungsi mengenai nilai-nilai pengajaran berhubungan dengan kontrol
sosial. Sekolah merupakan tempat di mana siswa mengalami proses sosialisasi,
dan mempengaruhi anak untuk menyatu (conform) dengan norma-norma yang berlaku.
Selama dalam tahun-tahun pertama anak memasuki sekolah, sekolah lebih
menekankan pentingnya fungsi kontrol sosial dibandingkan dengan fungsi-fungsi
yang lain. Pada tahun-tahun pertama tersebut anak diajarkan mengenai bagaimana
harus mengikuti instruksi-instruksi dari gurunya, tunduk dan patuh pada
pemerintah dan disiplin yang diberikan oleh gurunya, misalnya harus
mengacungkan tangannya lebih dahulu sebelum mengangkat bicara, mengerjakan
tugas-tugas sesuai dengan jadwal yang lebih ditetapkan. Sekolah mengajarkan
nilai-nilai baru yang dalam banyak hal mungkin sekali terdapat perberbedaan dengan nilai-nilai yang
berlaku di dalam keluarga atau dalam masyarakat lingkungan sekitar anak berada.
Sistem nilai di dalam keluarga lebih bersifat askripsi dan partikulasi. Orang
tua menyayangi dan mencintai anaknya, bukan karena melakukan tugas dan
kewajiban, akan tetapi karena hubungan orang tua – anak, “parent love their children
because of who they are, not because of what they have done” (Metta Spencer :
365). Sisten nilai ini mungkin saja kurang sesuai dengan system nilai yang
dikembangkan oleh sekolah, misalnya dalam keadaan anak terlalu disayangi oleh
orang tuanya sehingga terkesan over protectif yang menyebabkan pembentukan
kemandirian yang dikehendaki sekolah tidak optimal. Dalam kondisi demikian
sekolah perlu melakukan perubahan system nilai dengan pendekatan cultural,
sehingga perubahan yang dikehendaki sekolah akan berjalan secara alamiah dan
tidak menimbulkan konfrontasi antara sekolah dengan masyarakat.
3. Peningkatan Mobilitas Sosial
Peningkatan mobilitas sosial merupakan hal yang dianggap penting
dari fungsi pendidikan. Pendidikan menyediakan kesempatan yang sama bagi
anak-anak untuk maju, untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan kerja. Siapa
saja yang memiliki prestasi akan mendapat kesempatan untuk memperoleh pekerjaan
sesuai dengan bidangnya. Pekerjaan yang layak dan kondisi-kondisi kerja yang
lebih baik, terbuka bagi siapa saja yang memiliki dan memenuhi persyaratan
tertentu. Jadi walaupun semula seseorang berasal dari golongan masyarakat
rendah, mereka akan memperoleh lapangan pekerjaan dengan kondisi-kondisi yang
baik asal saja mereka memenuhi persyaratan yang diperlukan oleh lapangan
pekerjaan tersebut. Ini berarti bahwa pendidikan dapat meningkatkan mobilitas
sosial. Karena itu pendidikan harus melakukan tiga kegiatan utama dalam proses
pendidikan yaitu kegiatan pendidikan, bimbingan dan pelatihan. Tanpa meninggalkan
hakekat dasar proses pendidikan itu sendiri yaitu proses mendidik yang
berkelanjutan.
4. Fungsi Sertifikasi
Lembaga-lembaga pendidikan selalu memberikan sertifikat bagi
siswa-siswanya yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dalam
bentuk ijazah, diploma atau surat keterangan tanda kecakapan. Surat keterangan
tersebut bernilai bagi pemiliknya karena ia akan memiliki hak-hak tertentu
untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidang yang dikuasainya sebagaimana
diterangkan di dalam sertifikat. Dalam masyarakat industri pekerjaan-pekerjaan
hanya bagi pemegang sertifikat/diploma. Pekerjaan yang lebih baik akan direbut
oleh mereka yang memiliki sertifikat tertentu, sehingga sertifikat merupakan
sesuatu yang sangat berharga. Pemegang sertifikat akan memiliki prestise
tertentu. Dalam masyarakat dengan sistem kompetisi dalam menentukan jenjang
karier, sertifikat tersebut merupakan ukuran tertentu bagi pencari pekerjaan.
Dalam hubungannya dengan hal tersebut nampak secara jelas fungsi
pendidikan sebagai persiapan kerja dan pelatihan kerja sehingga keberhasilan
sekolah, sebagian dari fungsinya adalah mempersiapkan anak/pemuda untuk
memperoleh pekerjaan. Dalam masyarakat yang masih sederhana, fungsi job
training belum begitu terasa merupakan suatu kebutuhan, dan oleh karena itu
belum banyak mendapat perhatian. Akan tetapi dalam masyarakat modern, fungsi
persiapan kerja melalui latihan kerja (fungsi job training) sudah merupakan
sesuatu kebutuhan yang sangat mendesak. Adanya job training dimaksudkan untuk
memberikan latihan-latihan sebelumnya, sebelum seseorang mengaku pekerjaannya
yang tetap. Dengan demikian berarti bahwa pendidikan berfungsi memberikan bekal
pengetahuan, terutama ketrampilan-ketrampilan menjelang pekerjaan yang
sebenarnya. Di dalam masyarakat modern jenis-jenis pekerjaan begitu kompleks
dan rumit sehingga tamatan pendidikan formal tertentu dikhawatirkan belum dapat
langsung menyesuaikan diri dan kemampuannya terhadap peker-jaan yang harus
dipangkunya. Dalam kondisi inilah sekolah harus mempersiapkan
kemampuan-kemampuan peserta didik untuk dapat menyesuaikan diri dengan
pekerjaan yang mungkin dapat dilakukannya di masyarakat masa akan dating. Untuk
itu model pembelajaran dalam rangka persiapan ini harus terkait dengan apa yang
sebenarnya diperlukan oleh jenis-jenis pekerjaan di masyarakat. Ini berarti
kurikulum muatan local yang didesain secara manta akan sangat membantu
pembentukan peserta didik yang akarab dengan jenis pekerjaan di masyarakatnya.
5. Mengembangkan dan Memantapkan Hubungan-hubungan
Sosial.
Hubungan-hubungan sosial banyak dikembangkan oleh lembaga-lembaga
pendidikan. Walaupun anak-anak telah memperoleh pengalaman bergaul dalam
lingkungan rumah/keluarga, akan tetapi aspek-aspek hubungan sosial tersebut
lebih banyak terbentuk melalui kelompok-kelompok sebaya di sekolah. Di dalam
kelompok-kelompok sebaya di sekolah, anak-anak selalu mengadakan interaksi
secara kontinyu dalam kehidupannya sehari-hari. Melalui hubungan interpesonal
antar anak, dan yang selalu diawasi oleh guru-guru mereka, anak-anak mengadakan
hubungan interpesonal sehingga sifat-sifat anak akan berkembang dari
sifat-sifat egois menjadi sifat-sifat menghargai pendapat kawan, sifat kerja
sama, saling bantu membantu, rasa tepo seliro dan sebagainya. Berbagai bentuk
organisasi siswa, seperti osis, kelompok belajar, kelompok-kelompok hobi (olah
raga, kesenian), kelompok Palang Merah Pelajar, Kelompok Lalu Lintas, dan
kelompok pramuka, semuanya merupakan wadah tempat dimana aspek-aspek sosial
anak dapat dikembangkan.
Tumbuh kembangnya proses-proses sosialisasi di sekolah, sangat
tergantung pada kesiapan sekolah merancang secara baik pola-pola interaksi yang
dapat dikembangkan di lingkungan sekolah melalui kegiatan ekstra kurikuler.
Tatapi kegiatan ekstra kurikuler yang dirancang harus tetap memperhatikan pola
budaya masyarakat setempat agar tidak menimbulkan benturan budaya.
6. Membentuk Semangat kebangsaan (patriotisme)
Sekolah dalam kehidupannya sehari-hari mentransmisikan mitos,
simbol-simbol kebangsaan, dan mengajarkan penghargaan terhadap para pahlawan
bangsa serta peninggalan-peninggalan sejarah, semuanya tersebut dimaksudkan
untuk mengembangkan semangat serta loyalitas kejayaan bangsa. Sekolah
mengajarkan sejarah bangsanya. Memajukan peninggalan dan monumen-monumen
sejarah, hal itu dimaksudkan untuk menanamkan rasa kebangsaan serta kesediaan
membela tanah airnya terhadap serangan musuh.
Dalam konteks ini, maka kebudayaan di suatu daerah yang melekat
bagi siswa harus dikaitkan dengan berbagai kebudayaan daerah lainnya. Artinya
meskipun sekolah perlu mengembangkan budaya local, tetapi dalam konteks budaya
nasional, sehingga tidak terbentuk anak yang hanya mengakui budaya daerahnya
secara membabi buta. Apabila hal ini terjadi maka lambat laun akan merupakan
benih-benih yang menyebabkan adanya keresahan atau benturan antar suku, antar
etnis atau antar budaya tertentu. Oleh karena itu sikap mau mengakui,
menghargai dan menghormati perbedaan perlu ditumbuh kembangkan oleh lembaga
pendidikan kepada peserta didik.
0 comments:
Post a Comment