Pengaruh Emosi Terhadap Keefektifan
Kepemimpinan
Dalam pandangan psikologi, pengendalian diri
dipandang sebagai bagian dari kompetensi emosional, sebuah penerapan kecerdasan
emosional ditempat kerja (Goleman, 1998). Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan kompetensi pengendalian diri tersebut, melalui Kegiatan Belajar 5 ini
Anda diajak untuk mengkaji secara umum apa kompetensi emosional itu dan
bagaimana perilaku seorang yang memilik kompetensi emosional yang baik
tersebut.
Goleman (1998),
setelah mengkaji model kompetensi terhadap 188 perusahaan mengevaluasi
keterampilan kognitif, keterampilan teknikal, dan kecerdasan emosi,
menyimpulkan bahwa, dibanding dua faktor yang lain, kecerdasan emosi merupakan
faktor yang dua kali lebih penting dan lebih relevan dengan peningkatan jenjang
kepemimpinan. Menurut Goleman (1995) kepemimpinan bukanlah berarti menguasai,
melainkan seni meyakinkan orang untuk bekerja keras mencapai tujuan bersama.
Selain itu, dalam rangka memantapkan kerja meyakinkan orang dan karir sebagai
pemimpin, barangkali tidak ada yang lebih penting bagi pemimpin itu selain
mengenali perasaannya yang terdalam mengenai hal-hal yang dikerjakan.
Dengan
demikian jelas bahwa secara konseptual kecerdasan emosional yang diwujudkan
dalam kompetensi emosional merupakan faktor yang penting bagi keefektifan
kepemimpinan organisasi dimana otoritas formal tidak lagi efektif untuk
menggerakkan orang lain sebagaimana terjadi pada sekolah. Dalam organisasi
seperti ini pemimpin harus mampu menekan sampai batas minimal, bahkan
meniadakan, kesenjangan herarkhis antara sang pemimpin dengan yang dipimpin.
Dengan tiadanya kesenjangan herarkhis ini maka perasaan sang pemimpin akan
begitu dekat dengan pengiku tnya. Sang pemimpin benar-benar bisa merasakan apa
yang dirasakan oleh pengikutnya, dan pada akhirnya setiap kebijakan dan
keputusan yang dibuat tidak akan didominasi oleh apa yang ia rasakan namun juga
akan berdasar apa yang dirasakan oleh pengikutya.
Sejumlah penelitian terakhir mendukung hubungan antara
kepemimpinan dengan kecerdasan emosional tersebut. Penelitian-penelitian ini
dilakukan di berbagai negara di dunia pada organisasi-organisasi yang bergerak
di berbagai sektor yang berbeda-beda, seperti industri konstruksi, kesehatan,
dunia usaha, politik, dan pendidikan. Semua penelitian itu membuktikan
bahwa kecerdasan emosional pemimpin, yang diwujudkan dalam kompetensi emosional
di tempat kerja, berpengaruh terhadap kepemimpinan transformasional
(Hadi, 2008).
Untuk memahami lebih jauh tentang kecerdasan emosional, berikut
diuraikan secara singkat pengertian dan dimensi-dimensi dari konsep ini.
1. Pengertian Kompetensi Emosional
Konsep kompetensi emosional ( emotional
competencies) sangat erat kaitannya dengan konsep kecerdasan
emosional (emotional intelligence). Kompetensi emosional dikembangkan
berdasarkan konsep kecerdasan
emosional (Goleman, 2001., Boyatzis & Sala, 2004; Hunt,
2006). Kecerdasan emosional merupakan potensi awal yang dimiliki
seseorang untuk dapat mengembangkan kompetensi emosional di tempat kerja
(Boyatzis, Goleman, & McKee, 2002). Menurut Cherniss (2001), kecerdasan
emosional memberikan landasan bagi perkembangan sejumlah besar kompetensi yang
membantu seseorang berkinerja lebih efektif. Kecerdasan emosional pada tingkat
tertentu menjadi syarat untuk mengembangkan kompetensi emosional (Gowing dalam
Cherniss, 2000). Kecerdasan emosional dan kompetensi emosional merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pembedaan yang cukup tegas
antara kecerdasan emosional dan kompetensi emosional dibuat oleh
Offerman, Bailey, Vasilopoulos, Seal, dan Sass (2004). Mereka menyatakan bahwa
kecerdasan emosional merupakan kecerdasan terstandar yang banyak didukung oleh
pendekatan kemampuan (ability approach), sementara kompetensi
emosional memadukan kemampuan-kemampuan pokok kecerdasan emosional dengan
produk-produk atau manifestasi dari kecerdasan emosional yang merefleksikan
realisasi potensi kecerdasan emosional yang berbasis kemampuan tersebut.
Oleh karena itu setiap pembahasan kompetensi emosional selalu diawali dengan
pembahasan kecerdasan emosional, bahkan beberapa ahli
menggunakan keduanya saling bergantian (misalnya Humpel & Caputi, 2001.,
Ciarrochi & Deane, 2001., Ciarrochi, Deane, Wilson, & Rickwood,
2002 dan Morrison, 2005). Teori kecerdasan emosional pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1990
oleh Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2001a) dengan merujuk
pada perkembangan terdahulu yang dikenal dengan aspek kecerdasan nonkognitif (
non-cogitive aspect of intelligence ) (Cherniss, 2000). Kecerdasan emosional
merupakan salah satu domain kecerdasan dalam kerangka kecerdasan manusia.
Meskipun kecerdasan emosional merupakan domain yang berbeda
dengan kecerdasan kognitif, akan tetapi pada esensinya kecerdasan emosional
merupakan integrasi antara pusat-pusat emosi dalam otak (yang disebut sistem
limbik) dengan pusat-pusat kognitif (korteks prefrontal) (Cherniss, 2001).
Gardner
(1999) juga sepaham dengan pandangan bahwa kecerdasan emosional
merupakan salah satu dari kerangka kecerdasan manusia. Dalam teori yang
disebut Multiple Intelligences, Gardner (1999) memasukkan kecerdasan
emosional dalam spektrum kecerdasan personal (personal intelligence) dalam
mana terdapat dua ragam kecerdasan yang disebut kecerdasan
interpersonal ( interpersonal intelligence ) dan kecerdasan intrapersonal
(intrapersonal intelligence). Goleman (2001a), dalam kerangka teori kecerdasan
emosional yang dikembangkannya, mensetarakan kecerdasan interpersonal versi
Gardner
tersebut dengan kesadaran diri dan majemen diri,
dan kecerdasan intrapersonal dengan kesadaran sosial
dan manajemen kerjasama. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang
terkait dengan pengenalan dan pengaturan emosi yang ada dalam dirinya sendiri
dan dalam diri
orang lain. Mayer, Salovey, dan Caruso (dalam Cheniss,
2001:3) mengartikan kecerdasan emosional sebagai “The ability to perceive and
express emotion, assimilate emotion in thought, understand and reason with
emotion, and regulate emotion in the self and others”. Selanjutnya Goleman
(2001a:14) memberi batasan yang lebih ringkas terhadap konsep kecerdasan
emosional: “ Emotional
intelligence, at the most general level, refers to the
abilities to recognize and regulate emotions in ourselves and in others.”
Terkait dengan definisi singkat ini, Goleman (2001a) mengusulkan empat domain
utama kecerdasan emosional: Kesadaran-Diri ( Self-Awareness) ,
Manajemen-Diri (Self-Management ),
Kesadaran Sosial (Social Awareness) , dan Manajemen
Kerjasama (Relationship Management ).
Dalam perkembangan lebih lanjut, konsep kecerdasan emosional banyak dikaitkan
dengan kinerja seseorang di tempat kerja. Perkembangan inilah yang kemudian
mendorong berkembangnya konsep kompetensi emosional (emotional competencies)
yang pertama kali digulirkan oleh Goleman (1998). Boyatzis dan Sala
(2004) menyatakan bahwa bergulirnya konsep kompetensi emosional
seiring dengan digunakannya pendekatan kompetensi ( competency
approach) dalam penelitian kecerdasan emosional, sebuah pendekatan
penelitian yang memfokuskan pada penjelasan dan prediksi terhadap keefektifan
di berbagai bidang pekerjaan, terutama yang terkait dengan kinerja manajer dan
pemimpin. Dalam pendekatan kompetensi ini kemampuan-kemampuan khusus diidentifikasi
dan divalidasi berdasarkan keefektifan, atau, sering, diteliti
secara induktif dan diartikulasikan sebagai kompetensi (Boyat zis & Sala,
2004). Selain itu, Boyatzis dan Sala (2004) juga menyebutkan bahwa
kecerdasan emosional merupakan konstruk yang dapat diidentifikasi sebagai
kompetensi karena kecerdasan emosional sebagai sebuah konsep terintegrasi tidak
hanya menawarkan kerangka yang kuat dalam mendiskripsikan disposisi
manusia—namun juga menawarkan struktur teoritik tentang organisasi kepribadian
dan mengkaitkannya dengan teori tindakan dan kinerja di tempat kerja.
Kompetensi didefinisikan sebagai kemampuan atau kapabilitas (Boyatzis &
Sala, 2004). Kompetensi merupakan serangkaian perilaku yang berbeda-beda namun
saling terkait satu dengan lainnya yang diorganisasikan berdasarkan sebuah
konstruk, yang disebut “ intent ” (Boyatzis & Sala, 2004). Konstruksi
kompetensi semacam itu mencakup tindakan dan intent memerlukan
metode pengukuran yang memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap perilaku
yang tampak maupun inferensi terhadap intent .
Dengan memadukan pengertian kompetensi dan kecerdasan emosional
sebagaimana dikemukakan di atas, Goleman (2001b:27), mendefinisikan kompetensi
kecerdasan emosional sebagai “a learned capability based on emotional intelligence
that results in outstanding performance at work”. Dalam definisi ini, tampak
bahwa kompetensi emosional merupakan intent dan kinerja di
tempat kerja dan merupakan serangkaian kemampuan yang terkait dengannya.
Berdasarkan definisi Goleman tersebut, Boyatzis dan Sala (2004:5)
merumuskan definisi yang lebih rinci terkait dengan kompetensi
kecerdasan emosional: “ emotional intelligence competency is an ability to
recognize, understand, and use emotional information about oneself or others
that leads to or causes effective or superior performance. ” Terkait
dengan empat dimensi kecerdasan emosional di atas, Boyatzis dan
Sala (2004) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan serangkaian
kompetensi, atau kemampuan, tentang bagaimana orang: (a) menyadari di ri
sendiri; (b) mengelola diri sendiri; (c) menyadari orang lain; dan (d)
mengelola relasinya dengan orang lain. 2. Dimensi-Dimensi
Kompetensi Emosional Terdapat 20 kompetensi emosional yang
diidentifikasi Goleman (2001). Sebagai sebuah konstruk yang terbangun
berdasarkan konsep kecerdasan emosional, pengelompokan kompetensi- kompetensi
emosional itu tetap didasarkan pada bangunan kerangka kecerdasan emosional.
Goleman (2001b), yang kemudian dimodifikasi oleh Boyatzis, Goleman, dan McKee
(2002), mengelompokkan kompetensi-kompetensi emosional kedalam empat dimensi
kecerdasan emosional sebagaimana telah dikemukakan di atas:
kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen
kerjasama. Dua kompetensi pertama disebut Kompetensi Personal (Personal
Competence) dan dua lainnya disebut Komptensi Sosial (Social Competence ).
Selain dari aspek personal dan sosial, kompetensi-kompetensi tersebut juga
dikelompokkan menjadi Rekognisi yang terdiri dari Kesadaran Diri dan
Kesadaran Sosial dan Regulasi yang meliputi Manajemen Diri dan Manajemen
Kerjasama. Kerangka kerja kompetensi emosional tersebut kemudian disajikan
sebagaimana
Gambar
2.2. Boyatzis, Goleman, dan McKee (2002) menjelaskan kompetensi-kompetensi
tersebut sebagai berikut.
|
Diri Sendiri (Kompetensi Personal)
|
Orang Lain (Kompetensi Sosial)
|
Rekognisi
|
Kesadaran- Diri
|
Kesadaran Sosial
|
|
Kesadaran-diri Emosional
|
Empathi
|
|
Asesmen-diri yang akurat
|
orientasio layanan
|
|
Kepercayaan-Diri
|
Kesadaran organisasi
|
Regulasi
|
Manajemen- Diri
|
Manajemen Kerjasama
|
• Kendali-diri Emosional
|
• Inspirasi
|
• Bertanggungjawab
Adaptabilitas
|
• Pengaruh
|
• Kehati-hatian
|
• Mengembangkan orang lain
|
• Mendorong Prestasi
|
• Katalisator perubahan
|
• Inisiatif
|
• Manajemen konflik
|
|
• Membangun kebersamaan
|
|
• Kerja kelompok dan kolaborasi
|
Optimisme merupakan kompetensi terakhir dari dimensi Manajemen
Diri.
c. Kesadaran Sosial
d. Manajemen Kerjasama
Gambar 2.2 Kerangka Kerja Kompetensi emosional (Goleman, 2001b)
a. Keasadaran Diri
Tiga kompetensi yang termasuk dalam dimensi ini meliputi
kesadaran-diri emosional (emotional self-awareness), asesmen-diri yang akurat
(accurate self-assessment), dan kepercayaan diri (self-confidence ). Individu
yang memiliki kompetensi Kesadaran-Diri Emosional dapat mendengarkan
tanda-tanda di dalam dirinya sendiri, mengenali bagaim ana perasaannya
mempengaruhi diri dan kinerjanya. Individu itu bersedi a mendengarkan dan
menyelaraskan diri dengan nilai-nilai yang membimbingnya dan seringkali secara
naluriah dapat menentukan tindakan yang terbaik, melihat gambaran besar dalam
situasi yang
rumit. Orang yang sadar-diri emosional dapat bersikap tegas dan
otentik, mampu berbicara terbuka tentang emosinya atau berbicara dengan
keyakinan yang kuat terhadap visi yang membimbingnya.
Kompetensi asesmen-diri yang tepat memampukan dengan mengetahui
keterbatasan dan kekuatannya, dan menunjukkan citarasa humor mengenai dirinya
sendiri. Ia menunjukkan pembelajaran yang cerdas tentang apa yang mereka
pandang memerlukan perbaikan serta menerima kritik dan balikan
yang membangun. Penilaian diri yang akurat memampukan seseorang mengetahui
kapan harus meminta bantuan dan dimana ia harus memfokuskan dirinya pada usaha
pengembangan kekuatan yang baru.
Pengetahuan yang tepat terhadap kemampuan diri sendiri akan
memampukan seseorang untuk bermain-main dengan kekuatannya itu. Individu yang
percaya diri mampu menerima tugas yang sulit. Individu semacam ini sering kali
memiliki kepekaan terthadap keberadaannya, suatu keyakinan diri
yang membuatnya menonjol ketika berada dalam kelompok.
b. Manajemen Diri
Kompetensi-kompetensi yang termasuk dalam dimensi ini meliputi
kendali-diri emosional (emotional self-control ), dapat dipercaya (
trustworthiness ), adaptabilitas (adaptability), inisiatif, mendorong prestasi
(achievemen drive ), dan kehati-hatian atau conscientiousness. Ciri-ciri
dari individu yang memiliki kompetensi-kompetensi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut. Seseorang yang memiliki kendali-diri emosional
dapat menemukan cara-cara mengelola perasaannya yang sedang terganggu oleh
pihak lain atau atas dorongan-dorongan dirinya sendiri, dan bahkan dapat
menyalurkannya kedalam cara-cara yang bermanfaat. Ciri individu yang
memiliki kompetensi kendali-diri emosional yang baik adalah orang yang tetap
tenang dan berfikiran jernih ketika berada dalam tekanan tinggi atau ketika
berada dalam suasana krisis—atau seseorang yang tidak goyah meskipun berhadapan
dengan situasi yang menantang ketahanannya. Seseorang yang dapat
dipercaya mempertahankan nilai-nilai yang diyakininya. Istilah lain dari
kompetensi ini adalah transparansi, suatu keterbukaan yang sungguh-sungguh
kepada orang lain mengenai perasaan, keyakinan, dan tindakan seseorang, yang
memampukan seseorang untuk memiliki integritas. Orang semacam ini mengakui
secara terbuka keslahan yang diperbuat, menentang perilaku yang tidak etis
kepada orang lain, dan tidak berpura-pura tidak tahu.
Adaptabilitas merupakan kompetensi yang memampukan seseorang
dapat menyesuaikan diri, dapat menghadapi berbagai tuntutan tanpa kehilangan
fokus atau energi, dan tetap nyaman berada pada situasi-situasi yang tidak
menentu yang sering tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan organisasi. Orang itu
luwes dalam menyesuaikan dirinya dengan tantangan baru, cekatan dalam
menyesuaian dengan perubahan yang berlangsung cepat, dan berfikiran gesit
ketika menghadapi realitas baru.
Mandorong prestasi membuat seseorang memiliki standar pribadi
yang tinggi yang mendorongnya untuk terus melakukan perbaikan kinerja—baik bagi
dirinya sendiri, maupun orang lain, terutama ketika ia sedang memimpin. Orang
dengan kompetensi ini bersikap pragmat is, menetapkan tujuan-tujuan yang
terukur namun tetap menantang, dan mampu memperhitungkan resiko sehingga
tujuan-tujuan yang dicita-citakan layak untuk dicapai. Ciri utama kompetensi
ini adalah kesediaan untuk terus belajar—dan embelajarkan—berbagai cara untuk
melakukan segala sesuatu dengan lebih baik. Seseorang yang memililki kepekaan
akan keberhasilan—bahwa ia memiliki apa yang dibutuhkan untuk menentukan
nasibnya sendiri—memiliki keunggulan dalam inisiatif. Ia mampu menangkap
kesempatan—atau menciptakannya—dan bukan hanya menunggu. Individu semacam ini
tidak ragu menghadapi rintangan, bahkan jika terpaksa harus penyimpang dari
aturan, jika memang diperlukan untuk menciptakan peluang yang lebih baik bagi
masa depan.
Seseorang yang optimistis dapat tetap bertahan ketika berada di
tengah-tengah kepungan dan mampu melihat kesempatan, bukan ancaman. Dalam
suasana yang sulit. Orang semacam ini melihat orang lain secara positif dan
mengharapkan yang terbaik dari mereka. Pandangan orang semacam itu penuh dengan
harapan bahwa perubahan di masa depan adalah demi sesuatu yang lebih baik.
Dimensi kesadaran sosial tersusun oleh empati, kesadaran
organisasi
( organizational awareness), dan orientasi layanan ( service
orientation). Individu yang berempati mampu mendengarkan berba gai tanda emosi,
membiarkan diri merasakan emosi yang dirasakan oleh seseorang atau sekelompok
orang meskipun tidak dikatakan. Orang ini mendengarkan dengan cermat dan dapat
menangkap cara pandang orang lain. Empati membuatnya dapat bekerja sama dengan
baik dengan orang-orang y ang berasal dari berbagai latar belakang atau budaya.
Kesadaran berorganisasi yang tinggi dapat membuat seseorang
cerdas secara politis, mampu mendeteksi jaringan kerja sosial yang penting dan
membaca hubungan kerjasama yang penting. Orang ini dapat memahami kekuatan
politik yang sedang berkembang di dalam organisasi, juga nilai-nilai yang
membimbing jalannya organisasi , dan aturan-aturan nonverbal yang berlaku
dikalangan orang-orang yang ada di sekitarnya. Pemimpin yang memiliki
kompetensi pelayanan yang tinggi menumbuhkan iklim emosi yang membuat
orang-orang yang berada pada posisi berhubungan langsung dengan pelanggan atau
klien, akan menjaga hubungan dengan cara yang benar. Pemimpin seperti ini
memantau kepuasan pelanggan
dengan teliti untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan apa yang
mereka butuhkan. Pemimpin itu juga membuka dan menyediakan diri ketika
diperlukan.
Lima kompetensi yang merupakan jabaran dari dimensi ini meliputi
inspirasi ( inspiring ) , pengaruh ( influence ), mengembangkan orang lain (
developing others), katalisator perubahan (calalizing change), manajemen
konflik ( conflict management), kerja kelompok dan kolaborasi ( teamwork and
collaboration ). Pemimpin yang menginspirasi akan menciptakan
resonansi serta menggerakkan orang dengan visi yang menyemangati atau misi
bersama. Pemimpin seperti ini menjalankan sendiri apa yang dimintanya dari
orang lain dan mampu mengartikulasikan suatu misi bersama dengan cara yang
membangkitkan inspirasi orang untuk mengikutinya. Mereka menawarkan perasaan
tujuan di balik tugas sehari-hari dan membuat pekerjaan menjadi lebih
menggembirakan. Tanda kekuatan pengaruh pemimpin berkisar pada kecerdasannya
dalam menemukan daya tarik yang tepat bagi pendengar tertentu sampai
mengetahui cara mendapatkan persetujuan dari orang-orang penting dan membangun
jaringan pendukung atas inisiatif yang dibuatnya. Pemimpin yang mahir
mempengaruhi memiliki kemampuan membujuk dan melibatkan orang
lain ketika berhadapan dengan kelompol. Kompetensi mengembangkan orang lain
membuat seseorang mahir menunjukkan minat yang tulus kepada pihak yang
dibantunya, memahami tujuan, kekuatan serta kelema han mereka. Orang semacam
ini dapat memberikan umpanbalik yang membangun pada waktu yang tepat, dan
merupakan mentor atau pembimbing yang alami. Pemimpin dengan kompetensi
menjadi katalisator perubahan mampu mengenali kebutuhan akan perubahan,
menantang status quo, dan memperjuangkan aturan baru. Mereka dapat
menjadi penasihat yang kuat terhadap perubahan bahkan di hadapan oposisi
sekalipun, dan mampu membuat argumentasi yang mampu menumbuhkan semangat.
Mereka juga menemukan cara-cara yang praktis untuk mengatasi hambatan
perubahan. Pengelolaan konflik merupakan kompetensi yang membuat seorang
mampu menggalang berbagai pihak, memahami sudut pandang yang berbeda, dan kemudian
menemukan cita-cita bersa ma yang dapat disepakati oleh setiap orang. Mereka
mengangkat konflik ke permukaan, mengakui perasaan dan pandangan dari semua
pihak, dan kemudian mengarahkan energi ke arah cita-cita bersama. Pemimpin yang
mampu bekerja dalam tim akan menumbuhkan suasana kekerabatan yang ramah dan
mereka sendiri mencontohkan penghargaan, sikap bersedia membantu, dan
kerjasama. Mereka menarik orang-orang ke dalam komitmen yang aktif dan antusias
bagi usaha bersama, dan membangun
semangat serta identitas. Mereka meluangkan waktu untuk
menumbuhkan dan mempererat kerjasama yang akrab, lebih dari sekadar tuntutan
dan kewajiban pekerjaan.
Emotional Competencies atau kompetensi emosional merupakan kemampuan
khusus agar seseorang terampil memanfaatkan kecerdasan emosinya dalam perilaku
kepemimpinannya. Sebagai penyokong kepemimpinan yang efektif, kompetensi ini
dikelompokkan menurut empat dimensi: kesadaran diri (self awareness), manajemen
diri (self management), kesadaran sosial (social awareness), dan
keterampilan sosial (social skills). Kesadaran Diri adalah kemampuan yang
mencakup kesadaran emosional diri sendiri, penilaian diri secara akurat,
dan rasa percaya di ri. Manajemen Diri meliputi adaptibilitas, pengendalian
emosi diri, inisiatif, orientasi kepada prestasi, dapat dipercaya, dan
optimisme. Kesadaran Sosial mencakup empati, orientasi melayani, dan
kesadaran organisasional. Manajemen Kerjasama terdiri dari kepemimpinan
inspirasional, pengembangan orang lain, katasilator perubahan, manajemen
konflik, kerja tim dan kolaborasi.